Tari Temanku yang Malang
Mencari pasangan hidup itu, bukan seperti membeli baju secara online cek ukuran, pilih warna dan terus beli! Semoga sesuai ekspektasi, kalau tidak, yoweslah simpan di lemari, beli yang baru, retur atau garansi uang kembali.
Tidak! Tidak, seperti itu. Memilih pasangan hidup itu satu untuk seumur hidup. Tidak ada cerita tidak cocok lalu ganti yang baru, cerai!
Jadi lebih baik lama asal tepat , daripada nyesalnya seumur hidup.
Ya, seperti kisah nyata berikut ini.
Namanya Tari¹ menikah enam bulan sebelum wisuda. Gadis manis, lugu dan pintar dari kampung. Kuliah di PTN favorit di sebuah kota metropolitan jurusan keguruan program studi pendidikan biologi. Kenalan dengan seorang pria bernama Anto² yang telah menduda dengan satu anak. Secara fisik Anto lumayan tampan, badan tinggi dan tegap, lembut, perhatian, pekerja keras, berprofesi sebagai supir angkot milik sendiri (untuk 18 tahun lalu pendapatan lumayan menjanjikan) dan dari keluarga yang agak berada.
Awal perkenalan mereka dari telepon di rumah kostnya yang salah sambung. “ Suara dari sebrang sangat lembut menenangkan hati”, kata Tari memulai cerita dengan aku. Singkat kata mereka janjian ketemu, dan beberapa kali pertemuan itu mulai ada ketertarikan. “Terus terang, awalnya aku tidak menyukainya, beberapa kali kami janjian ketemu saya gak datang tapi dia tetap sabar menunggu di depan kostku, pernah aku demam dia antar sarapan, makan siang dan malam juga. Perhatian, kegigihan dan kesabarannya itu meluluhkan hatiku,” kata Tari sambil menghela nafas pelan. Sejak itu, mereka jadian, pacaran!
Kebaikan demi kebaikan yang diberikan Anto, membuat Tari merasa berhutang budi. Sehingga setiap permintaan Anto, Tari tak kuasa menolaknya. Bahkan untuk hal sangat tabu, bagi pasangan yang belum suami istri. Tari hamil! Sejak itu sifat Anto mulai terlihat, dia sangat pencemburu, cenderung posesif. Kemana-mana mereka selalu bersama.
Tari diajak tinggal di rumah keluarga Anto, Anto berasal dari keluarga yang broken home Ibunya kerja di sebuah Rumah Sakit, Ayahnya mengidap penyakit kejiwaan. Saking pencemburunya Anto, dia mencemburui ayahnya sendiri, jadi apabila dia pergi tanpa Tari, Tari akan dikurung dalam kamar dan pintu kamar dikunci dari luar. “Pernah tangan saya diborgol dengan tangannya, saat Anto tidur, dia menuduh saya akan pergi tanpa sepengetahuan dia, “ ucap Tari.
Kehidupan Tari berubah, kuliahnya tidak kelar padahal tinggal menyusun skripsi. Tari merasa tidak berdaya, malu, menyesal, beranggapan masa depannya suram jika tidak akan bersama dengan Anto, siapa lagi yang menerima keadaannya. Ya, dengan semua kondisi itu Tari mulai berdamai dengan dirinya menerima Anto apa adanya dan berharap seraya waktu berlalu Anto berubah dan mereka bisa bahagia.
Kini mereka memiliki 4 anak, tapi sifat buruk Anto malah semakin menjadi-jadi. Dia berusaha menutup akses keluarga, teman dan tetangga Tari. Kekerasan secara fisik dan verbal sudah tak terhitung, tuduhan-tuduhan tidak berdasar, uang belanja yang dijatah dengan dalil akan digunakan untuk kepentingan pribadi Tari, dan berbagai kekerasan lainnya. Sangat menguras fisik, emosi, dan batin Tari!
Tapi ada satu hal yang aneh!
Kenapa Tari terus bertahan dalam kondisi yang mengancam kehidupannya itu?
“Demi anak-anak! Saya ibu yang tidak bekerja, bagaimana nanti saya menafkahi mereka?,” Jawab Tari.
“Apa tanggapan orangtuamu melihat kamu begini?,” tanyaku menyelidiki.
“Orang tuaku sanggup! Mereka punya sawah dan ladang yang luas, mereka berjanji akan membantu aku dan anak-anak, tapi dengan syarat tinggalkan suamiku,” balas Tari.
“Lalu, kenapa tidak kamu pertimbangkan? Dalam kondisi begini, ini sangat berbahaya bagimu dan juga mental anak-anakmu?,” sahutku lagi.
Tari menghela nafas panjang dan menjawab dengan suara berbisik, ”Ntahlah, Yan! Kamu tahu, suamiku setelah kami bertengkar hebat, bahkan sampai kepalaku benjol akibat dipukulnya. Dia akan sangat baik padaku, mengobati lukaku, membelikan makanan kesukaanku, memeluk dan menciumi ku sambil minta maaf. Memohon padaku agar jangan meninggalkannya. Dari matanya aku lihat dia benar-benar menyesal. Itu semua membuat aku luluh! Tekadku untuk mengakhiri semua penderitaanku ini, sirna seketika”.
“Apakah kejadian ini jarang terjadi?,” tanyaku lagi.
“Sering, bahkan luka saja belum sembuh, kami mulai lagi bertengkar, ada saja pencetus masalahnya. Menurutku, dia berupaya mencari gara-gara, lalu setelahnya dia akan minta maaf lagi. Terus seperti begitu”, jawabnya dengan sedikit emosi.
Saya mulai bertanya-tanya kenapa ada orang yang bisa bertahan dalam kondisi seperti itu?
Kalau masalah ekonomi bukankah ada solusi dari orang tuanya. Demi anak-anak? Saya rasa jika kekerasan terus berulangkali dilakukan di depan mereka, bukankah itu sangat tidak baik bagi perkembangan mereka? Cinta? Bullshit! Jika setiap hari kena bogem, cacian dan tuduhan, hidup dalam ketakutan, madu manis pun lama-lama rasa kopi pahit! Sungguh saya tidak mengerti!
Hari ini, secara tidak sengaja saya dapat jawaban! Saat baca komentar seorang pakar psikologi kenamaan. Dia mengatakan bahwa perilaku seperti ini termasuk dalam jenis gangguan kepribadian. Namanya Intimate Relationship Terror (IRT)
Tahapan "Intimate Relationship Terror" adalah:
(1) melakukan kekerasan, (2) meminta maaf, (3) fase bermesraan, (4) kembali melakukan kekerasan.
Kadang-kadang, antara pelaku dan korban "saling melengkapi" dalam hal gangguan kepribadian. Pelaku mengalami gangguan kepribadian sadistik, sedangkan korban mengalami gangguan kepribadian dependen.
IRT tidak hanya berbentuk kekerasan fisik. Ada juga yang berbentuk "perselingkuhan repetitif," "pemenjaraan finansial," dan "penistaan emosional" seperti merendahkan pasangan.
Dan semua yang disebut diatas dialami Tari.
Ya, kekerasan fisik, pemenjaraan finansial, penistaan emosi dan perselingkuhan repetitif juga. Dan bukan hanya pasangannya yang bermasalah, ternyata Tari juga, dia juga mengalami gangguan kepribadian dependen.
Oh My God! Ternyata itu masalahnya.
一一一一一一一一一一一一一一一
¹Nama telah diubah
²Nama telah diubah
56 komentar untuk "Tari Temanku yang Malang"
Wah, keren nih artikelnya, jadi belajar ilmu psikologi saya
Wah, ternyata..gitu ya
Gangguan kepribadian dependen, menarik ini
Pantas saja masalahnya muter aja dan mbulet enggak terpecahkan dan enggak ada solusi , ya karena ini
Mbak, saya tunggu ulasan lainnya ya, terutama tentang gangguan kepribadian dependen ini, karena ini biasanya sosoknya perempuan.
Terima kasih sudah berbagi:)
Semoga Anto bisa ditarik untuk terapi penyembuhan.
Keep writing mba,
Salam kenal
Semoga ceritanya dengan ending mreka sudah terlepas dr masalah ini ����
Apa mereka sudah pernah ke psikolog?
buat kamu yang lagi bosan dan ingin mengisi waktu luang dengan menambah penghasilan yuk gabung di di situs kami www.fanspoker.com
kesempatan menang lebih besar yakin ngak nyesel deh ^^,di tunggu ya.
|| WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||
Silahkan komentar dengan bijak dan sesuai topik bahasan. Terimakasih!